Wahdat al-Wujud Dari sisi A'yan al-Tsabitah dab Maratib Al-wujud
Joeprizal
https://talangparindu95.blogspot.com
1.
Latar Belakang
Wahdat al-Wujud adalah suatu paham yang meyakini bahwa antara
Tuhan dan mahluk adalah satu kesatuan wujud. Istilah wahdat al-wujud yang
digunakan untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi bukanlah berasal darinya, melainkan
berasal dari Ibnu Taimiyah yang merupakan salah satu tokoh yang berkontribusi penting
dalam memperkenalkan konsep ini ketengah umat muslim, walaupun pendapat yang
dikemukakannya dalam hal ini tidak sepenuhnya dapat mendeskripsikan wahdat
al-wujud secara utuh karena dia masih menilai ajaran wahdat al-wujud dari
aspek tasybihnya saja, tetapi belum menilai dari aspek tanzihnya.
Sebab kedua aspek tersebut terdapat dalam ajaran Ibnu ‘Arabi.
Konsep utama ajaran Ibnu ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya
ada wujudt unggal saja dan tidak ada yang mewujud bersama-Nya. Istilah Arab untuk
mewujud adalah Wujud yang dapa tdipahami dengan keberadaan (existensi),
pembedaan yang banyak dilakukan dewasa ini, antara mewujud dan mengada (being
and existence, Wujud dan keberadaan) tidak dilakukan Ibnu ‘Arabi,[1]
maka padasaat menyatakan hanya ada Zat Tunggal maka yang tersirat hanyalah aspek
tunggalnya (tasybih) saja.
Namun dalam berbagai karyanya Ibnu al-Arabi lebih konsisten memakai istilah tajalli, menyingkap diri (self-uncovering)
atau perwujudan diri (selfrevelation),
yang menjelaskan hubungan antara Tuhan dan dunia. Tetapi, ia tidak mengulangi
pemakaian istilah-istilah seperti penciptaan (khalq) dan Pencipta (Khaliq),
emanasi (faydan/shudur) dan emanate (shadir), walaupun bersebab.[2]
Ini merupakan konsistensi yang di maksudkan Ibnu ‘Arabi sendiri sebagai pembeda
untuk menjelaskan paham wahdatul al-wujud dengan yang paham-paham lainya.
Dari sisi maratib al-wujud setiap
maujud menpunyai tingkatan masing-masing, tingkatan erat kaitannya dengan Allah
swt. Tingkatan tertinggi dari maratib
al-wujud disebut dengan a’yan al-Tsabitah tingkatan ini disebut dengan entitas-entitas tetap karena keberadaannya
masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan.
2.
Rumusan Masalah
2.1.Apa yang dimaksud dengan wahdat
al-wujud?
2.2.Bagimana konsep wahdat al-wujud
dalam pemahaman Ibnu Arabi?
2.3.Apa saja tingkatan wujud dari sisi
maratib al-wujud?
2.4.Bagaimana konsep tentang a’yan
al-tsabitah?
3.
Tujuan Penulisan
3.1.Memahami konsep wahdat al-wujut
berdasarkan pemikiran Ibnu ‘Arabi.
3.2.Mamahami tahapan maratib al-wujud
dalam konsep wahdat al-wujud.
3.3.Mengetahui maksud a’yan
al-tsabitah dalam tahapan maratib
al-wujud.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Konsep Wahdat al-Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu
wahdat dan wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan
al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdatul al- wujud dapat diartikan dengan
kesatuan wujud. Pengertian inilah yang akhirnya digunakan para sufi untuk
meyatakan suatu paham yang meyakini bahwa antara Tuhan dan mahluk adalah satu
kesatuan wujud.[1]
Menurut Ibn ‘Arabi wujud dari semua yang ada hanya satu dan
wujudnya mahluk adalah ‘ain wujudnya Khaliq. Tidak ada perbedaan antara
keduanya (Khalik dan mahluk) dari segi hakikat. Walaupun ada yang mengira
terdapat perbedaan antara keduanya, maka hal itu hanya dari segi pancaindra
yang lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang
ada padanya dari kesatuan zatiah yang segala sesuatu berhimpun kepadaNya.[2]
Simpulan ini dapat dipahami dari ucapan Ibnu ‘Arabi, antara lain:
“Mahasucilah Tuhan yang menjadikan segala sesuatu dan Dialah ‘ain
sesuatu itu sendiri”[3]
Sebagai mana yang telah diungkapkan diatas, Ibnu Arabi sebagai
tokoh pertama yang penyusun paham kesatuan wujud. Ungkapan terkenal dari
penganut paham kesatuan wujud sebagi mana yang telah diucapkan Ibnu Arabi
diatas, timbul karena mereka tidak bisa menerima pendapat tentang terciptanya
alam dari suatu ketiadaan (Creation ex nihilo). Dengan kata lain mereka
menolak pendapat bahwa pada suatu masa alam mengada dari ketiadaan. Inilah
persoalan bagi kaum sufi yang tidak menganut paham kesatuan wujud, yang
terkanal dengan “masalah penciptaan alam”.[4]
Konsep dasar dari Ibnu al-Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada
Zat Tunggal saja, dan tidak ada sesuatu yang mewujud selain itu. Istilah Arab
untuk mewujud adalah Wujud, yang dapat disamakan dengan keberadaan
(eksistensi). Pembedaan yang banyak dilakuka sekarang ini, antara mewujud dan
mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibnu al-Arabi. Maka ketika
dia menyatakan bahwa hanya ada Zat Tunggal, maka menurut Ibnu Al-Arabi berarti:[5]
1.
Bahwa
semua yang ada adalah Zat Tunggal.
2.
Bahwa
Zat Tunggal tidak terpecah dalam bagian-bagian.
3.
Bahwa
tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab
itu, dalam setiap keberadaan tidaklah ada sesuatu kecuali Zat Tunggal, yang
secara mutlak tak terpecahkan/terbaikan (indivisible) dan seragam (homogen).
Istilah wahdat al-wujud yang digunakan untuk menyebut ajaran
sentral Ibn ‘Arabi bukanlah berasal darinya, melainkan berasal dari Ibnu
Tamiyah. Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat al-wujud itu adalah penyamaan
Tuhan Dengan alam. Menurut Penjelasannya, orang-orang yang berpaham wahdat
al-wujud mengatakan bahwa wujud adalah satu dan wajib al-wujud yang
dimiliki oleh Khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh
mahluk. Selain itu, orang-orang yang berpaham wahdat al-wujud itu juga
mengatakan bahwa wujud Tuhan satu dengan wujud alam, tidak ada kelainan dan
tidak ada perbedaan.[6] Dari
pendapat ini, terlihat bahwa Ibn Taimiyah menilai bahwa wahdat al-wujud dari
aspek tasybihnya saja, tetapi belum menilai dari aspek tanzihnya.
Sebab kedua aspek tersebut terdapat dalam ajaran Ibnu ‘Arabi.[7]
Selanjutnya Ibn ‘Arabi menjelaskan antara hubungan Tuhan dengan
Alam. Menurutnya, alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki
dan alam itu tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Karena itu, alam ini
merupakan tempat tajalli dan mazhar (penampakan) Tuhan.
Menurut Ibn ‘Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga
memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin
yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Karena itu Allah menciptakan
manusia untuk memperjelascermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan
mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa
alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan maknanya dan senantiasa dalam
bentuk zat yang tinggal dalam kemujarradan-Nya yang mutlak yang dikenal oleh
siapapun. [8]
Dalam Fushush al-Hikam Ibn ‘Arabi menjelaskan hal tersebut dengan
ungkapan:
“ Wajah itu hanya satu, namun jika Anda perbanyak cermin ia pun
menjadi banyak” [9]
Selanjutnya lgi Ibn ‘Arabi dalam syairnya menjelaskan tentang
konsep tanzih dan tasybih pada Tuhan:
“Jika enkau
berkata hanya dengan tanzih, engkau mengikat-Nya, jika engkau hanya berkata
dengan tasybih, engkau membatasi-Nya. Jika engkau bekata dengan kedua-duanya,
engkau adalah benar dan engkau adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengn dualistis. Tuhan dan alam adalah musyrik dan
siapa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dari alam adalah muwahhid. Karena
itu, berhati-hatilah terhadap tasybih jika engkau mengakui dualistis, dan
berhati-hatilah engkau terhadap tnzih jika engkau mengakui monistis. Engkau
bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihatnya dalam ‘ain segala
sesuatu, baik sebagai yang lepas maupun sebagai yang terikat.”[10]
Di antara ulama yang meniliti permasalahan ini dan memahami
maksudnya adalah Sayyid Mustafa Kamal Syarif. Ia berkata, “Wujud adalah satu,
karena dia merupakan sifat esensi bagi Allah. Wujud adalah sesuatu yang wajib,
sehingga tidak boleh berbilang. Dan maujud (sesuatu yang diadakan) adalah
mungkin, yaitu alam, sehingga boleh berbilang sesuai dengan hakikatnya. Adanya
alam karena adanya wujud yang wajib dengan dirinya sendiri. Apabila alam
musnah, maka wujud tetap kekal. Jadi maujud bukanlah wujud. Tidak boleh
dikatakan bahwa wujud ada dua: wujud qadim dan wujud hadits,
kecuali jika yang dimaksud dengan wujud kedua adalah maujud. Berdasarkan hal
ini, tidak ada perlunya peringatan ulama rasional terhadap wahdat al-wujud
yang dikatakan oleh para sufi”. Selanjutnya ia berkata, “indra tidak
melihat selain kerangka atau maujud, dan roh tidak melihat selain wujud.
Apabila roh melihat maujud, maka dia melihatnya kecuali sebagai yang kedua.
Seperti perkataan seseorang, “aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat
Allah sebelumnya.” Yang dia maksud dengan penglihatan dalam hal ini adalah syuhud
(kesaksian hati), bukan ru’yah (penglihatan mata). Sebab, ru’yah
berkenaan dengan mata, sedangkan syuhud berkenan dengan hati. Oleh
karena itu, dikatakan, ‘Asyhadu an la ilaha ilallah (aku bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah), dan tidak dikatakan, ‘Ara (aku melihat).
Bahkan tidak sah jika dikatakan, ‘Ara”.[11]
Penjelasan mengenai wahdat al-wujud juga datang dari Harun Nasution, ia menjelaskan
paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam wahdat al-wujud, nasut (sifat
kemanusiaan) yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (Mahluk)
dan lahut (sifat Ketuhanan)
menjadi Haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar
disebut khalq dan Aspek yang
sebelah dalam disebut haqq. Kedua kata ini merupakan padanan kata al-arad
(accident-kenyataan) dan al-jauhar (substance-hakikat) dan al-zahir
(lahir, luar atau tampak) dan al-bathin (dalam, tidak tampak). Paham ini
juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang sebenarnya ada
dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang merupakan
hakikat, substansi atau esensi. Sedangkan aspek yang tampak hanyalah merupakan
bayangan yang ada dari adanya aspek yang pertama (al-haqq). Paham
selanjutnya yang timbul adalah paham bahwa antara mahluk dan Tuhan sebenarnya
satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu,
sedangkan wujud mahluk hanyalah bayangan dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun
atas dasar pemikiran bahwa Allah swt sebagai al-hulul, ingin melihat
diriNya diluar diriNya dan oleh karena itu dijadikannya alam ini sebagai
cerminan atas diriNya. Pada saat ingin memperlihatkan diriNya maka Dia cukup
dengan melihat Alam, karena pada
benda-benda di alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, maka disinilah timbul paham
kesatuan. Walaupun kelihatannya banyak tetapi pada hakikatnya hanyalah satu,
sama halnya ketika seseorang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang
diletakan di sekelilinnya, [12]
sebagai objek pengetahuan atas dirinya. Mengenai hikmah penciptaan mahluk,
terdapat dalam hadis qudsi berikut ini
“Aku adalah karunia yang tersembunyi yang tidak diketahui, maka Aku
pun menciptakan mahluk-mahluk, sehingga dengannya mereka mengetahui aku.”.
Ibn ‘Arabi mengemukakan bahwa maksud Tuhan menciptakan mahluk pada
umumnya adalah agar Allah swt bisa mengetahui dan melihat diri-Nya sendiri dalam suatu bentuk yang dengan itu tampak
jelas sifat-sifatNya maupun nama-namaNya. Dengan kata lain Allah ingin melihat
detail nama-namaNya dalam cermin alam atau Wujud exsternal. Maka tampaklah
dalam wujud apa yang tampak dan selaras dengan keberadaannya, dengan itupun Dia
tersingkap dari karunia tersembunyi, yaitu Dzat Mutlak yang terlepas
dari segala hubungan maupun ikatan. Tetapi zat yang tersingkap dari Dzat Mutlak
tersebut, tidak dalam kemutlakan dan kebebasan Dzat itu. Melainkan dengan
keterikatan dan keterbatasannya.[13]
هُوَ
الأوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah Yang Awal dan
Yang Akhir Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS:
Al-Hadid [57]: 3)
أَلَمْ
تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya
Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang
di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS al-Luqman [31]:20)
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ
الْحَمِيدُ
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah
Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. (QS Fathir
[35]:15).
Orang-orang orientalis mengatakan bahwa paham ini pantheistic[14],
tetapi sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara keduanya, menurut Ibnu
Arabi, hakekat wujud itu hanya satu yaitu Allah swt sedangkan yang banyak
hanyalah bayangan (ilusi) dari yang satu. Atau dengan istilah lain assential
identification of manifested order with ontological principle sedangkan pantheisme
adalah substantial identification of universe with God. Dalam paham
panteisme jauhar atau esensi (hakikat) Tuhan itu terdapat dalam setiap
yang ada. [15]
Untuk memperjelas perbedaan dari kedua konsep ini kami,
dapat kita bedakan dari pandangan beberapa ahli tentang pantheisme itu
sendiri. Pertama, Menurut Henry. C. Theissen, Panteisme
adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek,
modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan
sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan natural (alam), Tuhan adalah
semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang
diantaranya mempunyai pula unsur-unsur asteistik, politeistik, dan teistik.[16]
Selain
definisi di atas, Norman L. Geisler dan William D. Watkins mengatakan:
“Panteisme mengatakan bahwa Tuhan adalah alam. Bagi seorang panties, tidak ada
pencipta diluar alam, pencipta dan ciptaan adalah dua cara yang berbeda dalam
memandang satu realitas. Tuhan adalah alam (atau yang semuanya) dan alam adalah
Tuhan. Pada hakikatnya ada satu realitas, bukan banyak realitas yang
berbeda-beda.[17]
Karena Tuhan dan dunia adalah satu
Zat, maka hubungan antara Tuhan dan dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab
dan akibat, atau hubungan antara Pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini
oleh ahli ilmu kalam, atau hubungan antara Yang Tunggal dengan emanasi[18]
seperti yang diyakini kaum filosof neo-Platonik. Untuk seluruh bentuk-bentuk
hubungan sebab, penciptaan, dan emanasi, berimplikasi pada dualism dalam
berbagai derajat antara Tuhan dan dunia, dan secara mendasar bertentangan
dengan kebenaran dasar bahwa Zat adalah Tunggal. Kerena konsep ini gagal dalam
merumuskan kebenaran, Ibnu al-Arabi memakai istilah tajalli, menyingkap diri (self-uncovering) atau perwujudan diri (self revelation),
yang menjelaskan hubungan antara Tuhan dan dunia. Tetapi, ia tidak mengulangi
pemakaian istilah-istilah seperti penciptaan (khalq) dan Pencipta (Khaliq),
emanasi (faydan/shudur) dan emanate (shadir), walau bersebab; tetapi ia
menafsirkannya secara konsisten berbeda dengan istilah-istilah dasarnya
sendiri.[19]
2.
Maratib al-Wujud dan A’yan al-Tsabitah
Marati secara istilah dapat
diartikan sebagai tingkatan-tingkatan sedangkan Wujud diartikan ada. Dengan
demikian maratib al-Wujud dapat dipahami setiap maujud menpunyai tingkatan
sendiri. Masing-masing tingkatan membutuhkan hubungan khusus dengan Allah swt.
Manakala sebuah maujud memenuhi semua kondisi yang berkaitan dengan tingkatannya
dalam hierarki[20]
existensi maka sesuatu itupun lengkap dan sempurna.[21]
Tahapan Maratib al-Wujud dalam
proses pengaturan diri dari Zat, yang biasa dikemukakan. Zat, dengan sifat
pengaturan diriNya:
Tahapan pertama adalah Dzat dalam
keadaan mutlak Tunggal (Ahad), pada
tahapan ini Zat disebut sebagai martabat Ahadiyyah,
Kesatuan Mutlak.[22]
Disebut juga martabat Dzatiah karena dalam citraNya zat tidak bernama dan tidak
ada atribut, karena ahadiyah adalah substansi yang mengaris bawahi dasar
eksistensi yang membatasi kemampuan roh manusia yang hanya dapat menyebut
atribut-atributnya. Nampaknya Ibn ‘Arabi ingin mengatakan bahwa kesadarn
manusia tidk dapat merngkul seluruh kenyataan sebab kenyataan yang sesungguhnya
lebih berkualitas dan lebih bernilai dari dunia percakapan manusia. Lapisan
belakang kenyataan adalah sesuatu yang terpisah dari lapisan awal tadi, untuk
mengetahuinya yang mutlak sebagai subtansi merasa perlu untuk memanifestasi ke
dalam sifat atau atribut agar lapisan belakang itu dapat diketahui dan dikenali.
Dalam gambaran ahadiyah Tuhan belum bisa disebut Tuhan karena Dia masih berada
diluar semua bukti. Dia adalah bukti bagi eksistensi dirinya sendiri yang
dimanifestasikan dalam a’yan dari wujud –wujud kontingen. Maka disini Tuhan
membuktikan eksistensi dirinya sebagai Tuhan dari keberadaan sebelumnya yang
cuma hanya Dia.[23]
Tahapan kedua adalah Wahdah atau Ketunggalan, yakni ketika
perbedaan batini muncul dalam Zat. Ini terjadi manakala Zat mengada pada diri
sendiri dari diri sendiri, (yaitu pada) gagasan-gagasan tentang segala sesuatu
yang muncul di dunia di masa depan. Prototype ideal dari sesuatu ini disebut a’yan tsabitah; yang secara abadi tunduk
dalam pengetahuan dari Zat. Tahap penentuan diri selanjutnya disebut Wahidiyah atau Kesatuan, yakni ketika
Zat menetukan sendiri eksistensialitas dalam objek-objek berkenaan dengan
prototype idealnya, yakni a’yan tsabitah.
Karena proses a’yan tsabitah pada
dirinya tidak muncul di dunia terluar meninggalkan pengetahuan dari fikiran
Zat, dan tetap ada seperti sebelumnya dalam keadaan subsistensi (tsubut), yang apabila dibandingkan
dengan keperiadaan adalah keadaan yang relative tidak ada, maka Ibnu al-Arabi
menyebutnya sebagai ma’dum, atau
ketidakadaan.[24]
Tiga tahap selanjutnya adalah
penentuan yang dikhususkan dari Zat dalam jiwa yang disebut ta’ayun ruhi, yaitu penentuan rohaniah;
dalam bentuk simbolis disebut ta’ayun
mitsali, atau penentuan simbolis; dan terakhir dalam jasad disebut dengan ta’ayun jasadi, atau penentuan jasadi.
Penentuan ideal yang tidak terbatas.[25]
Yaitu Tajalli yang sudah eksistensial dan tertentu sebagai kebalikan dari
penentuan ideal yang tiada terbatas. Kedua martabat terakhir ini disatukan oleh
Ahmad Daudi dalam satu tahapan yang disebut martabat tajalli syuhudi yakni
Tuhan bertajali melalui Asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris, dari
keberadaan sebelumnya sebagai prototype ideal dalam tahapan ini telah menjadi
actual dalam citra alam empiris. Dengan demikian alam merupakan fenomena
empiris adalah mazhar atau wadah tajalli dalam berbagai wujud dan bentuk
sebagai suatu kontinensi. Maka Tuhan dan alam empirisme merupakan dua sisi dari
satu esensi bila dipandang dari sisi empiris maka Ia dinamai alam atau makhluk
apabila dilihat dari sisi batiniah atau hakikat maka Ia disebut al-Haq atau
Tuhan.[26] Bersama-sama ada lima tahap penentuan yang
dikenal sebagai hadrat khams, atau
lima kehadiran.
1.
Tajalli zat dalam bentuk-bentuk a’yan
tsabitah.
2.
Tanazul zat Tuhan pada alam ma’ani kepada ta’ayyunat
(realitas-realitas) rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
3.
Tanazul kepada realitas-realitas nafsiyah, yaitu alam
nafsiyah yang berfikir.
4.
Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan
materi, yaitu alam mitsal atau alam khayal.
5.
Alam materi atau alam inderawi.[27]
Berbeda dengan level alam yang
sudah merupakan keberadaan konkret atau aktual. Keberadaan yang terakhir ini
tidak lagi disebut entitas tetap karena sudah bersifat aktual dan menerima
perubahan. Keberadaan potensi dan keberadaan aktual di sini tidak bisa
disamakan dengan konsep Platonisme yang juga mengenal dunia ide dan dunia
nyata.[28]
Zat yang menentukan diri sendiri dalam berbagai bentuk adalah Zat Tuhan. Dan
tentu tidak bisa lain kecuali Tuhan; baginya, tidak akan ada dua Zat yang
mengada bersama-Nya.
3.
Kritik Terhadap Wahdat al-Wujud
Pengamatan tentang konsep ini datang dari Sirhindi, kritiknya terhadap
doktrin tauhid wujudi, adalah, bahwa tauhid
tersebut bukan tauhid para Rasul. Para Rasul tidak pernah mengajarkan bahwa Zat
adalah satu; yang mereka ajarkan bahwa Allah adalah Esa. Mereka tidak pernah
mengatakn, bahwa tiada sesuatu selain Allah; mereka hanya mengajarkan bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Berbeda dengan tauhid
wujudi dari Ibnu al-Arabi, mereka
mengajarkan bahwa dunia memang ada, yang memang benar-benar berbeda dari Tuhan,
dan Allah tidak membagikan sifatnya kepada dunia, dan Dia sepenuhnya
transenden. Agama para Rasul, ucap Sirhindi, tegak atas dasar premis kegandaan
(itsnainiyat), dan bukan pada
keidentikan antara Tuhan dan dunia. Ia memisahkan antara makhluk dengan Maha Pencipta,
hamba dari Tuhannya, dan tidak pernah menyampaikan bahwa Pencipta adalah
ciptaan, atau bahwa Tuhan adalah hamba. Para Rasul tidak pernah mengabaikan
pengetahuan, kehendak, kekuasaan, tindakan, dan pengalaman-pengalaman atau
makhluk-makhluk lain, dan kemudian menjadikannya hanya sebagai predikat Tuhan
saja. Mereka tidak pernah menyatakan, bahwa hanya ada satu Pelaku atau Satu
Zat, atau Satu Subjek saja.
Pendapat kedua Sirhindi tentang wahdat
al-wujud-nya Ibnu al-Arabi, bahwa doktrin tersebut bertentangan dengan
berbagai prinsip dasar ajaran Islam. Misalnya, bahwa doktrin tersebut
membenarkan adanya penyembahan berjhala. Karena filsafat tersebut
mengidentikkan dunia dengan Tuahn, maka penyembahan atas berbagai objek akan
disamakan dengan penyembaha Tuhan, karena yang disembah adalah perwujudan
Tuhan. Inilah apa yang sebenarnya diyakini oleh para penyembah berhala. Kedua,
bahwa doktrin tersebut mengabaikan adanya keburukan. Sebagai manifestasi Tuhan,
yang merupakan kebaikan absolute, tentu segala sesuatu mengada dalam keadaan
baik; ia hanya buruk dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain di luar dirinya
sendiri. Bahkan kekafiran dan kemurtadan bukanlah suatu keburukan; dalam
kenyataannya ia merupakan kebaikan dalam dirinya sendiri, dan buruk atau kurang
baik hanyalah ada apabila dibandingkan dengan Iman dan Islam. Ini menjauhkan
manusia dari penyembahan berhala dari kemurtadan.
Pendapat ketiga dari Syekh Sirhindi, bahwa kepercayaan pada Zat
Tunggal merupakan fenomena Subjektif. Bukti kesubjektifannya terletak pada
riwayat munculnya (genesis) gagasan tersebut. Ada dua cara bagaimana
kepercayaan tersebut muncul. Sebagian Sufi mulai secara a priori terhadap
gagasan tersebut. Mereka memahami, atau diminta untuk memahami kalimah: “Bahwa
tidak ada Tuhan kecuali Allah”, dan kemudian difahami sebagai: “Bahwa tidak ada
yang mewujud kecuali Allah”. Mereka mengulangi kalimah tersebut dan kemudian
merenunginya. Sebagai akibat dari “meditasi dan refleksi yang berkepanjangan”,
demikian Sirhindi, “gagasan tersebut akan mendominasi pemikirannya, dan setelah
melewati pengulangan yang sinambung, maka kalimah tersebut akan mengendap dalam
imajinasi mereka”. Mereka kemudian akan memiliki pandangan sebagaimana yang
diyakininya.
Pendapat
terakhir Sirhindi tentang wahdat al-wujud
adalah bahwa keyakinan ini tidak diperlukan untuk mencapai fana’. Tauhid syuhudi
sudah cukup untuk mengantarkan pada fana’,
dan mewujudkan ikhlash yang merupakan
tujuan tertinggi dari suluk Sufi. “Untuk fana”, ujar Sirhindi, “kita hanya
memerlukan persepsi tentang Zat Tunggal (tauhid
syuhudi), sehingga kita dapat melupakan segala sesuatu selain Allah (ma siwa Allah)”. Tentang tauhid wujudi ia berkata: “Sangat mungkin bahwa seorang Sufi menjadikan sayr dan perjalannannya dari satu ujung
ke ujung lain tanpa mendapatkan gagasan tentang Kesatuan Zat. Ia mungkin bahkan
ragu, bahwa hal tersebut akan terjadi. Bagiku, cara yang mana tidak satupun
gagasan tersebut terjadi merupakan jalan terpendek dibanding dengan jalan yang
bagaimana mereka mewujud. Lebih jauh lagi, pera pejalan dilintasan pertama
biasanya akan mencapai sasarannya, sedang pejalan di lintasan kedua lebih
sering tersesat. Mereka hanya terpuaskan oleh beberapa tetes, tetapi kemudian
justru meninggalkan sungai, mereka mengejar persatuan dengan bayangan dan
kemudian meninggalkan kenyataan. Aku mempelajari kebenaran ini justru dari
pengalaman sendiri.
Pendapat selanjutnya datang
dari pendapat para ulama mengenai hal ini, bahwa wujud itu satu,
yaitu Allah, hal ini mengandung dua pengertian: yang pertama benar, dan yang
kedua kufur: [29]
Yang
mereka maksud dengan wahdatul wujud
adalah kesatuan al-Haq dengan makhluk;
bahwa tidak ada sesuatu dalam wujud selain al-Haq; bahwa segala sesuatu adalah
Dia, dan Dian adalah segala sesuatu; bahwa Dia adalah benda-benda itu sendiri;
dan bahwa dalam setiap sesuatu Dia mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan bahwa
itu adalah Dia. Ini adalah kekafiran dan kezindikan yang lebih sesat dari
kebatilan orang-orang Yahudi,orang-orang Nasrani dan orang-orang yang menyembah
berhala. Kaum sufi menentang keras orang yang mengatakan pendapat ini,
mengeluarkan fatwa tentang kekafirannya, dan memperingatkan masyarakat supaya
tidak bergaul dengannya. Abu Bakar Muhammad Banani berkata, “wahai saudaraku,
hindarilah bergaul dengan orang yang berkata, ‘tidak ada sesuatu kecuali
Allah,’ lalu Dia memperturutkan hawa nafsunya. Ini sungguh merupakan kezindikan
yang murni. Sebab, jika seorang ahli makrifat yang hakiki berpegang teguh pada
syariat dan melangkah dengan kaki yang kokoh dalam hakikat, lalu dia berkata,
“Tidak ada sesuatu kecuali Allah,” maka maksudnya bukanlah menanggalkan syariat
dan meremehkan taklif. Kita berlindung kepada Allah jika ini yang dimaksudnya. [30]
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan
Wahdat al-Wujud merupakan ajaran
pokok Ibnu ‘Arabi yang menyatakan bahwa antara Tuhan dan mahluk adalah satu
kesatuan wujud. Konsep utama ajaran Ibnu ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya
ada wujud tunggal saja dan tidak ada yang mewujud bersama-Nya. Wahdat al-Wujud
adalah suatu paham yang meyakini bahwa antara Tuhan dan mahluk adalah satu
kesatuan wujud. Istilah wahdat al-wujud yang digunakan untuk menyebut
ajaran sentral Ibn ‘Arabi yang berarti kesatuan wujud, dimana Istilah Arab
untuk mewujud adalah Wujud yang dapat dipahami dengan keberadaan (existensi),
pembedaan yang banyak dilakukan dewasa ini, antara mewujud dan mengada (being
and existence, Wujud dan mewujud (keberadaan) yang belum dilakukan oleh Ibnu
Arabi. Namun dalam
berbagai karyanya Ibnu al-Arabi lebih
konsisten memakai istilah tajalli,
menyingkap diri (self-uncovering) atau perwujudan diri (selfrevelation), yang menjelaskan
hubungan antara Tuhan dan dunia Ibnu ‘Arabi sendiri sebagai pembeda untuk
menjelaskan paham wahdatul al-wujud dengan yang paham-paham lainya.
Untuk mendudukan keberadaan konsep
ini ditengah paham-paham lain terutama dengan paham pantiesme, maka kita perlu
melihat defenisi inti dari defenisi keduanya, Baik menurut Henry. C. Theissen, Norman
L. Geisler maupun William D. Watkins Panteisme adalah teori yang berpendapat
bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek, modifikasi atau bagian belaka
dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Esensi Tuhan dan alam
adalah satu yang pada hakikatnya hanyalah satu realitas. Sedangkan pengertian
wahdatul al-wujud adalah adalah kesatuan wujud, dimana dalam memahaminya kita
harus membedakan antara wujud dan mewujud. Esensi dan existensi. Esensi adalah
hakikat yang ada yang tidak berhajat kepada sesuatu yang lain, sedangkan alam
hanyalah sebagai cerminannya atau ilusi dari asma dan sifatnya. Tuhan tidak
akan disebut Tuhan jika Dia berada dalam sendirNya, Tuhan akan menjadi Tuhan
jika Dia mempunyai Mahluk. Maka untuk menjadi Tuhan, Ia menciptakan Mahluk
sebagai cerminan atas diri dengan asma
dan sifat-Nya.
Dari sisi maratib al-wujud setiap
maujud menpunyai tingkatan masing-masing, tingkatan erat kaitannya dengan Allah
swt. Tingkatan tertinggi dari maratib al-wujud disebut dengan a’yan al-Tsabitah
tingkatan ini disebut dengan
entitas-entitas tetap karena keberadaannya masih bersifat potensial dan
tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan. Ini terjadi manakala Zat mengada
pada diri sendiri dari diri sendiri, (yaitu pada) gagasan-gagasan tentang
segala sesuatu yang muncul di dunia di masa depan. Prototip ideal dari sesuatu
ini disebut a’yan tsabitah; yang
secara abadi tunduk dalam pengetahuan dari Zat.
Daftar Pustaka
Nata , Abuddin. Akhlak tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), cet. 13, hlm. 215
Rusli, Ris’an, Tasawuf dan Tarekat, Studi Pemikiran dan Pengalaman
Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 138-139
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani.Sufi Dari Zaman ke Zaman,
Terj, Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), cet.I, hlm. 202
Muhammad Abd.Haq Ansari, Antara sufisme dan Syariah, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1990), hlm. 149
Syaikh ‘Abdul Qadir
Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi, 2005). Hlm. 389.
Siregar, Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002), cet. II, hlm. 184
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta:
Amzah, 2005 ), cet. I, hlm. 139
[1] Abuddin Nata, Akhlak
tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cet. 13, hlm.
215
[2] Ris’an Rusli, Tasawuf
dan Tarekat, Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013), hlm. 138-139
[3] Ibid, hlm.
139. Dikutip Ris’an Rusli pada Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat al-Makiyyah, II,
(Beirut: Dar Shadar, tt.), hlm 604
[4] Abu al-Wafa’
al-Ghanimi al-Taftazani. Sufi Dari Zaman ke Zaman, Terj, Ahmad Rofi’
‘Utsmani, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), cet. I, hlm. 202
[5]Muhammad
Abd.Haq Ansari, Antara sufisme dan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers,
1990), hlm. 149
[6] Ibid, hlm.
139. Dikutip Ris’an Rusli pada Muhammad Mahdi al-Istanbuli, Ibn Taimiyah Bathal
al-Islah al-Diniy, (Damaskus: Dar al-Ma’rifah, 1397 H/1977 M), hlm. 59
[7] Ibid, hlm.
138
[8]
Ris’an Rusli, op.
cit., hlm. 142
[9]
Ibid., hlm. 143
dikutip pada Ibn ‘Arabi, Al-Hikam wa al-Ta’liqat ‘alaih, (Beirut: Dar
al-Fikr, tt.), hlm. 70
[11] Syaikh ‘Abdul
Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi, 2005). Hlm. 389.
[12] Ibid, Abuddin
Nata, Akhlak tasawuf dan Karakter Mulia,,, hlm. 216
[13] Ibid, Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Sufi Dari Zaman Ke Zaman. 203
[14] Ajaran yang
menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta.
[15] Rivay Siregar,
Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2002), cet. II, hlm. 184
[16]
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 162.
[18] Sesuatu yang
memancar (mengalir), pancaran-Nya
[19] Muhammad Abd.
Haq Ansari, Antara sufisme dan Syariah, op., cit. hlm 151-152
[20] KBBI Ofline
!.51. hierarki diartikan urutan tingkatan atau jenjang jabatan (pangkat
kedudukan) atau organisasi dengan tingkat wewenang dari yang paling bawah sampai yang paling atas.
[21] Totok
Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005 ), cet.
I, hlm. 139
[22] Muhammad Abd.
Haq Ansari. Op., cit. hlm. 150
[23]
Rivay Siregar.
Op., cit. Hlm. 166.
[24] Antara sufisme
dan syariah. Op., cit. Hlm.151
[25]
Muhammad Abd.
Haq Ansari, Op., Cit. Hlm. 151
[26] Rivay Siregar.
Op., Cit. Hlm. 198-199
[27] Ris’an Rusli. Op.,
Cit. Hlm. 145
[28] Dikutip pada laman http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/03/09/m0m2pw-apa-itu-alayan-atstsabitah-1 pada tanggal Nofember 2016
[29] Syeikh Abdul
Qadir Isa, Hakekat Tasawuh, Op., Cit. Hlm. 390
[1]Muhammad
Abd.Haq Ansari, Antara sufisme dan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers,
1990), hlm 150