Minggu, 04 Desember 2016

Wahdat al-Wujud dari sisi A'yan al-Tsabitah dan Maratib al- Wujud

Wahdat al-Wujud Dari sisi A'yan al-Tsabitah dab Maratib Al-wujud

Joeprizal

 https://talangparindu95.blogspot.com


1.            Latar Belakang
Wahdat al-Wujud adalah suatu paham yang meyakini bahwa antara Tuhan dan mahluk adalah satu kesatuan wujud. Istilah wahdat al-wujud yang digunakan untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi bukanlah berasal darinya, melainkan berasal dari Ibnu Taimiyah yang merupakan salah satu tokoh yang berkontribusi penting dalam memperkenalkan konsep ini ketengah umat muslim, walaupun pendapat yang dikemukakannya dalam hal ini tidak sepenuhnya dapat mendeskripsikan wahdat al-wujud secara utuh karena dia masih menilai ajaran wahdat al-wujud dari aspek tasybihnya saja, tetapi belum menilai dari aspek tanzihnya. Sebab kedua aspek tersebut terdapat dalam ajaran Ibnu ‘Arabi.
Konsep utama ajaran Ibnu ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada wujudt unggal saja dan tidak ada yang mewujud bersama-Nya. Istilah Arab untuk mewujud adalah Wujud yang dapa tdipahami dengan keberadaan (existensi), pembedaan yang banyak dilakukan dewasa ini, antara mewujud dan mengada (being and existence, Wujud dan keberadaan) tidak dilakukan Ibnu ‘Arabi,[1] maka padasaat menyatakan hanya ada Zat Tunggal maka yang tersirat hanyalah aspek tunggalnya (tasybih) saja.
Namun dalam berbagai karyanya Ibnu al-Arabi  lebih konsisten memakai istilah tajalli, menyingkap diri (self-uncovering) atau perwujudan diri (selfrevelation), yang menjelaskan hubungan antara Tuhan dan dunia. Tetapi, ia tidak mengulangi pemakaian istilah-istilah seperti penciptaan (khalq) dan Pencipta (Khaliq), emanasi (faydan/shudur) dan emanate (shadir), walaupun bersebab.[2] Ini merupakan konsistensi yang di maksudkan Ibnu ‘Arabi sendiri sebagai pembeda untuk menjelaskan paham wahdatul al-wujud dengan yang paham-paham lainya.
Dari sisi maratib al-wujud setiap maujud menpunyai tingkatan masing-masing, tingkatan erat kaitannya dengan Allah swt.  Tingkatan tertinggi dari maratib al-wujud disebut dengan a’yan al-Tsabitah tingkatan ini disebut dengan entitas-entitas tetap karena keberadaannya masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan.

2.         Rumusan Masalah
2.1.Apa yang dimaksud dengan wahdat al-wujud?
2.2.Bagimana konsep wahdat al-wujud dalam pemahaman Ibnu Arabi?
2.3.Apa saja tingkatan wujud dari sisi maratib al-wujud?
2.4.Bagaimana konsep tentang a’yan al-tsabitah?

3.         Tujuan Penulisan
3.1.Memahami konsep wahdat al-wujut berdasarkan pemikiran Ibnu ‘Arabi.
3.2.Mamahami tahapan maratib al-wujud dalam konsep wahdat al-wujud.
3.3.Mengetahui maksud a’yan al-tsabitah dalam  tahapan maratib al-wujud.




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Konsep Wahdat al-Wujud

Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdatul al- wujud dapat diartikan dengan kesatuan wujud. Pengertian inilah yang akhirnya digunakan para sufi untuk meyatakan suatu paham yang meyakini bahwa antara Tuhan dan mahluk adalah satu kesatuan wujud.[1]
Menurut Ibn ‘Arabi wujud dari semua yang ada hanya satu dan wujudnya mahluk adalah ‘ain wujudnya Khaliq. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khalik dan mahluk) dari segi hakikat. Walaupun ada yang mengira terdapat perbedaan antara keduanya, maka hal itu hanya dari segi pancaindra yang lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada padanya dari kesatuan zatiah yang segala sesuatu berhimpun kepadaNya.[2] Simpulan ini dapat dipahami dari ucapan Ibnu ‘Arabi, antara lain:
“Mahasucilah Tuhan yang menjadikan segala sesuatu dan Dialah ‘ain sesuatu itu sendiri”[3]
Sebagai mana yang telah diungkapkan diatas, Ibnu Arabi sebagai tokoh pertama yang penyusun paham kesatuan wujud. Ungkapan terkenal dari penganut paham kesatuan wujud sebagi mana yang telah diucapkan Ibnu Arabi diatas, timbul karena mereka tidak bisa menerima pendapat tentang terciptanya alam dari suatu ketiadaan (Creation ex nihilo). Dengan kata lain mereka menolak pendapat bahwa pada suatu masa alam mengada dari ketiadaan. Inilah persoalan bagi kaum sufi yang tidak menganut paham kesatuan wujud, yang terkanal dengan “masalah penciptaan alam”.[4]
Konsep dasar dari Ibnu al-Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada Zat Tunggal saja, dan tidak ada sesuatu yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud adalah Wujud, yang dapat disamakan dengan keberadaan (eksistensi). Pembedaan yang banyak dilakuka sekarang ini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibnu al-Arabi. Maka ketika dia menyatakan bahwa hanya ada Zat Tunggal, maka menurut Ibnu Al-Arabi berarti:[5]
1.      Bahwa semua yang ada adalah Zat Tunggal.
2.      Bahwa Zat Tunggal tidak terpecah dalam bagian-bagian.
3.      Bahwa tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab itu, dalam setiap keberadaan tidaklah ada sesuatu kecuali Zat Tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan/terbaikan (indivisible) dan seragam (homogen).
Istilah wahdat al-wujud yang digunakan untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi bukanlah berasal darinya, melainkan berasal dari Ibnu Tamiyah. Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat al-wujud itu adalah penyamaan Tuhan Dengan alam. Menurut Penjelasannya, orang-orang yang berpaham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud adalah satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh mahluk. Selain itu, orang-orang yang berpaham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud Tuhan satu dengan wujud alam, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.[6] Dari pendapat ini, terlihat bahwa Ibn Taimiyah menilai bahwa wahdat al-wujud dari aspek tasybihnya saja, tetapi belum menilai dari aspek tanzihnya. Sebab kedua aspek tersebut terdapat dalam ajaran Ibnu ‘Arabi.[7]

Selanjutnya Ibn ‘Arabi menjelaskan antara hubungan Tuhan dengan Alam. Menurutnya, alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam itu tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Karena itu, alam ini merupakan tempat tajalli dan mazhar (penampakan) Tuhan.
Menurut Ibn ‘Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Karena itu Allah menciptakan manusia untuk memperjelascermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam kemujarradan-Nya yang mutlak yang dikenal oleh siapapun. [8]
Dalam Fushush al-Hikam Ibn ‘Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan:
Wajah itu hanya satu, namun jika Anda perbanyak cermin ia pun menjadi banyak” [9]
Selanjutnya lgi Ibn ‘Arabi dalam syairnya menjelaskan tentang konsep tanzih dan tasybih pada Tuhan:
Jika enkau berkata hanya dengan tanzih, engkau mengikat-Nya, jika engkau hanya berkata dengan tasybih, engkau membatasi-Nya. Jika engkau bekata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan. Siapa saja yang berkata dengn dualistis. Tuhan dan alam adalah musyrik dan siapa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dari alam adalah muwahhid. Karena itu, berhati-hatilah terhadap tasybih jika engkau mengakui dualistis, dan berhati-hatilah engkau terhadap tnzih jika engkau mengakui monistis. Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihatnya dalam ‘ain segala sesuatu, baik sebagai yang lepas maupun sebagai yang terikat.”[10]

            Di antara ulama yang meniliti permasalahan ini dan memahami maksudnya adalah Sayyid Mustafa Kamal Syarif. Ia berkata, “Wujud adalah satu, karena dia merupakan sifat esensi bagi Allah. Wujud adalah sesuatu yang wajib, sehingga tidak boleh berbilang. Dan maujud (sesuatu yang diadakan) adalah mungkin, yaitu alam, sehingga boleh berbilang sesuai dengan hakikatnya. Adanya alam karena adanya wujud yang wajib dengan dirinya sendiri. Apabila alam musnah, maka wujud tetap kekal. Jadi maujud bukanlah wujud. Tidak boleh dikatakan bahwa wujud ada dua: wujud qadim dan wujud hadits, kecuali jika yang dimaksud dengan wujud kedua adalah maujud. Berdasarkan hal ini, tidak ada perlunya peringatan ulama rasional terhadap wahdat al-wujud yang dikatakan oleh para sufi”. Selanjutnya ia berkata, “indra tidak melihat selain kerangka atau maujud, dan roh tidak melihat selain wujud. Apabila roh melihat maujud, maka dia melihatnya kecuali sebagai yang kedua. Seperti perkataan seseorang, “aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah sebelumnya.” Yang dia maksud dengan penglihatan dalam hal ini adalah syuhud (kesaksian hati), bukan ru’yah (penglihatan mata). Sebab, ru’yah berkenaan dengan mata, sedangkan syuhud berkenan dengan hati. Oleh karena itu, dikatakan, ‘Asyhadu an la ilaha ilallah (aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah), dan tidak dikatakan, ‘Ara (aku melihat). Bahkan tidak sah jika dikatakan, ‘Ara”.[11]
Penjelasan mengenai wahdat al-wujud juga datang dari Harun Nasution, ia menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam wahdat al-wujud, nasut (sifat kemanusiaan) yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (Mahluk) dan lahut (sifat Ketuhanan) menjadi Haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan  Aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kedua kata ini merupakan padanan kata al-arad (accident-kenyataan) dan al-jauhar (substance-hakikat) dan al-zahir (lahir, luar atau tampak) dan al-bathin (dalam, tidak tampak). Paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat, substansi atau esensi. Sedangkan aspek yang tampak hanyalah merupakan bayangan yang ada dari adanya aspek yang pertama (al-haqq). Paham selanjutnya yang timbul adalah paham bahwa antara mahluk dan Tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud mahluk hanyalah bayangan dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun atas dasar pemikiran bahwa Allah swt sebagai al-hulul, ingin melihat diriNya diluar diriNya dan oleh karena itu dijadikannya alam ini sebagai cerminan atas diriNya. Pada saat ingin memperlihatkan diriNya maka Dia cukup dengan melihat Alam, karena pada benda-benda di alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, maka disinilah timbul paham kesatuan. Walaupun kelihatannya banyak tetapi pada hakikatnya hanyalah satu, sama halnya ketika seseorang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakan di sekelilinnya, [12] sebagai objek pengetahuan atas dirinya. Mengenai hikmah penciptaan mahluk, terdapat dalam hadis qudsi berikut ini
“Aku adalah karunia yang tersembunyi yang tidak diketahui, maka Aku pun menciptakan mahluk-mahluk, sehingga dengannya mereka mengetahui aku.”.
Ibn ‘Arabi mengemukakan bahwa maksud Tuhan menciptakan mahluk pada umumnya adalah agar Allah swt bisa mengetahui dan melihat diri-Nya sendiri  dalam suatu bentuk yang dengan itu tampak jelas sifat-sifatNya maupun nama-namaNya. Dengan kata lain Allah ingin melihat detail nama-namaNya dalam cermin alam atau Wujud exsternal. Maka tampaklah dalam wujud apa yang tampak dan selaras dengan keberadaannya, dengan itupun Dia tersingkap dari karunia tersembunyi, yaitu Dzat Mutlak yang terlepas dari segala hubungan maupun ikatan. Tetapi zat yang tersingkap dari Dzat Mutlak tersebut, tidak dalam kemutlakan dan kebebasan Dzat itu. Melainkan dengan keterikatan dan keterbatasannya.[13]
هُوَ الأوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
 Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS: Al-Hadid [57]: 3)
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ

Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS al-Luqman [31]:20)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. (QS Fathir [35]:15).
Orang-orang orientalis mengatakan bahwa paham ini pantheistic[14], tetapi sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara keduanya, menurut Ibnu Arabi, hakekat wujud itu hanya satu yaitu Allah swt sedangkan yang banyak hanyalah bayangan (ilusi) dari yang satu. Atau dengan istilah lain assential identification of manifested order with ontological principle sedangkan pantheisme adalah substantial identification of universe with God. Dalam paham panteisme jauhar atau esensi (hakikat) Tuhan itu terdapat dalam setiap yang ada. [15] Untuk memperjelas perbedaan dari kedua konsep ini kami, dapat kita bedakan dari pandangan beberapa ahli tentang pantheisme itu sendiri. Pertama, Menurut Henry. C. Theissen, Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek, modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan natural (alam), Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur asteistik, politeistik, dan teistik.[16]



Selain definisi di atas, Norman L. Geisler dan William D. Watkins mengatakan: “Panteisme mengatakan bahwa Tuhan adalah alam. Bagi seorang panties, tidak ada pencipta diluar alam, pencipta dan ciptaan adalah dua cara yang berbeda dalam memandang satu realitas. Tuhan adalah alam (atau yang semuanya) dan alam adalah Tuhan. Pada hakikatnya ada satu realitas, bukan banyak realitas yang berbeda-beda.[17]
Karena Tuhan dan dunia adalah satu Zat, maka hubungan antara Tuhan dan dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau hubungan antara Pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini oleh ahli ilmu kalam, atau hubungan antara Yang Tunggal dengan emanasi[18] seperti yang diyakini kaum filosof neo-Platonik. Untuk seluruh bentuk-bentuk hubungan sebab, penciptaan, dan emanasi, berimplikasi pada dualism dalam berbagai derajat antara Tuhan dan dunia, dan secara mendasar bertentangan dengan kebenaran dasar bahwa Zat adalah Tunggal. Kerena konsep ini gagal dalam merumuskan kebenaran, Ibnu al-Arabi memakai istilah tajalli, menyingkap diri (self-uncovering) atau perwujudan diri (self revelation), yang menjelaskan hubungan antara Tuhan dan dunia. Tetapi, ia tidak mengulangi pemakaian istilah-istilah seperti penciptaan (khalq) dan Pencipta (Khaliq), emanasi (faydan/shudur) dan emanate (shadir), walau bersebab; tetapi ia menafsirkannya secara konsisten berbeda dengan istilah-istilah dasarnya sendiri.[19]

2.      Maratib al-Wujud dan A’yan al-Tsabitah
Marati secara istilah dapat diartikan sebagai tingkatan-tingkatan sedangkan Wujud diartikan ada. Dengan demikian maratib al-Wujud dapat dipahami setiap maujud menpunyai tingkatan sendiri. Masing-masing tingkatan membutuhkan hubungan khusus dengan Allah swt. Manakala sebuah maujud memenuhi semua kondisi yang berkaitan dengan tingkatannya dalam hierarki[20] existensi maka sesuatu itupun lengkap dan sempurna.[21]
Tahapan Maratib al-Wujud dalam proses pengaturan diri dari Zat, yang biasa dikemukakan. Zat, dengan sifat pengaturan diriNya:
Tahapan pertama adalah Dzat dalam keadaan mutlak Tunggal (Ahad), pada tahapan ini Zat disebut sebagai martabat Ahadiyyah, Kesatuan Mutlak.[22] Disebut juga martabat Dzatiah karena dalam citraNya zat tidak bernama dan tidak ada atribut, karena ahadiyah adalah substansi yang mengaris bawahi dasar eksistensi yang membatasi kemampuan roh manusia yang hanya dapat menyebut atribut-atributnya. Nampaknya Ibn ‘Arabi ingin mengatakan bahwa kesadarn manusia tidk dapat merngkul seluruh kenyataan sebab kenyataan yang sesungguhnya lebih berkualitas dan lebih bernilai dari dunia percakapan manusia. Lapisan belakang kenyataan adalah sesuatu yang terpisah dari lapisan awal tadi, untuk mengetahuinya yang mutlak sebagai subtansi merasa perlu untuk memanifestasi ke dalam sifat atau atribut agar lapisan belakang itu dapat diketahui dan dikenali. Dalam gambaran ahadiyah Tuhan belum bisa disebut Tuhan karena Dia masih berada diluar semua bukti. Dia adalah bukti bagi eksistensi dirinya sendiri yang dimanifestasikan dalam a’yan dari wujud –wujud kontingen. Maka disini Tuhan membuktikan eksistensi dirinya sebagai Tuhan dari keberadaan sebelumnya yang cuma hanya Dia.[23]
Tahapan kedua adalah Wahdah atau Ketunggalan, yakni ketika perbedaan batini muncul dalam Zat. Ini terjadi manakala Zat mengada pada diri sendiri dari diri sendiri, (yaitu pada) gagasan-gagasan tentang segala sesuatu yang muncul di dunia di masa depan. Prototype ideal dari sesuatu ini disebut a’yan tsabitah; yang secara abadi tunduk dalam pengetahuan dari Zat. Tahap penentuan diri selanjutnya disebut Wahidiyah atau Kesatuan, yakni ketika Zat menetukan sendiri eksistensialitas dalam objek-objek berkenaan dengan prototype idealnya, yakni a’yan tsabitah. Karena proses a’yan tsabitah pada dirinya tidak muncul di dunia terluar meninggalkan pengetahuan dari fikiran Zat, dan tetap ada seperti sebelumnya dalam keadaan subsistensi (tsubut), yang apabila dibandingkan dengan keperiadaan adalah keadaan yang relative tidak ada, maka Ibnu al-Arabi menyebutnya sebagai ma’dum, atau ketidakadaan.[24]
Tiga tahap selanjutnya adalah penentuan yang dikhususkan dari Zat dalam jiwa yang disebut ta’ayun ruhi, yaitu penentuan rohaniah; dalam bentuk simbolis disebut ta’ayun mitsali, atau penentuan simbolis; dan terakhir dalam jasad disebut dengan ta’ayun jasadi, atau penentuan jasadi. Penentuan ideal yang tidak terbatas.[25] Yaitu Tajalli yang sudah eksistensial dan tertentu sebagai kebalikan dari penentuan ideal yang tiada terbatas. Kedua martabat terakhir ini disatukan oleh Ahmad Daudi dalam satu tahapan yang disebut martabat tajalli syuhudi yakni Tuhan bertajali melalui Asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris, dari keberadaan sebelumnya sebagai prototype ideal dalam tahapan ini telah menjadi actual dalam citra alam empiris. Dengan demikian alam merupakan fenomena empiris adalah mazhar atau wadah tajalli dalam berbagai wujud dan bentuk sebagai suatu kontinensi. Maka Tuhan dan alam empirisme merupakan dua sisi dari satu esensi bila dipandang dari sisi empiris maka Ia dinamai alam atau makhluk apabila dilihat dari sisi batiniah atau hakikat maka Ia disebut al-Haq atau Tuhan.[26]  Bersama-sama ada lima tahap penentuan yang dikenal sebagai hadrat khams, atau lima kehadiran.
1.      Tajalli zat dalam bentuk-bentuk a’yan tsabitah.
2.      Tanazul zat Tuhan pada alam ma’ani kepada ta’ayyunat (realitas-realitas) rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
3.      Tanazul kepada realitas-realitas nafsiyah, yaitu alam nafsiyah yang berfikir.
4.      Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal atau alam khayal.
5.      Alam materi atau alam inderawi.[27]
Berbeda dengan level alam yang sudah merupakan keberadaan konkret atau aktual. Keberadaan yang terakhir ini tidak lagi disebut entitas tetap karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan. Keberadaan potensi dan keberadaan aktual di sini tidak bisa disamakan dengan konsep Platonisme yang juga mengenal dunia ide dan dunia nyata.[28] Zat yang menentukan diri sendiri dalam berbagai bentuk adalah Zat Tuhan. Dan tentu tidak bisa lain kecuali Tuhan; baginya, tidak akan ada dua Zat yang mengada bersama-Nya.

3.      Kritik Terhadap Wahdat al-Wujud
Pengamatan tentang konsep ini datang dari Sirhindi, kritiknya terhadap doktrin  tauhid wujudi, adalah, bahwa tauhid tersebut bukan tauhid para Rasul. Para Rasul tidak pernah mengajarkan bahwa Zat adalah satu; yang mereka ajarkan bahwa Allah adalah Esa. Mereka tidak pernah mengatakn, bahwa tiada sesuatu selain Allah; mereka hanya mengajarkan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Berbeda dengan tauhid wujudi dari Ibnu al-Arabi, mereka mengajarkan bahwa dunia memang ada, yang memang benar-benar berbeda dari Tuhan, dan Allah tidak membagikan sifatnya kepada dunia, dan Dia sepenuhnya transenden. Agama para Rasul, ucap Sirhindi, tegak atas dasar premis kegandaan (itsnainiyat), dan bukan pada keidentikan antara Tuhan dan dunia. Ia memisahkan antara makhluk dengan Maha Pencipta, hamba dari Tuhannya, dan tidak pernah menyampaikan bahwa Pencipta adalah ciptaan, atau bahwa Tuhan adalah hamba. Para Rasul tidak pernah mengabaikan pengetahuan, kehendak, kekuasaan, tindakan, dan pengalaman-pengalaman atau makhluk-makhluk lain, dan kemudian menjadikannya hanya sebagai predikat Tuhan saja. Mereka tidak pernah menyatakan, bahwa hanya ada satu Pelaku atau Satu Zat, atau Satu Subjek saja.
Pendapat kedua Sirhindi tentang wahdat al-wujud-nya Ibnu al-Arabi, bahwa doktrin tersebut bertentangan dengan berbagai prinsip dasar ajaran Islam. Misalnya, bahwa doktrin tersebut membenarkan adanya penyembahan berjhala. Karena filsafat tersebut mengidentikkan dunia dengan Tuahn, maka penyembahan atas berbagai objek akan disamakan dengan penyembaha Tuhan, karena yang disembah adalah perwujudan Tuhan. Inilah apa yang sebenarnya diyakini oleh para penyembah berhala. Kedua, bahwa doktrin tersebut mengabaikan adanya keburukan. Sebagai manifestasi Tuhan, yang merupakan kebaikan absolute, tentu segala sesuatu mengada dalam keadaan baik; ia hanya buruk dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain di luar dirinya sendiri. Bahkan kekafiran dan kemurtadan bukanlah suatu keburukan; dalam kenyataannya ia merupakan kebaikan dalam dirinya sendiri, dan buruk atau kurang baik hanyalah ada apabila dibandingkan dengan Iman dan Islam. Ini menjauhkan manusia dari penyembahan berhala dari kemurtadan.
Pendapat ketiga dari Syekh Sirhindi, bahwa kepercayaan pada Zat Tunggal merupakan fenomena Subjektif. Bukti kesubjektifannya terletak pada riwayat munculnya (genesis) gagasan tersebut. Ada dua cara bagaimana kepercayaan tersebut muncul. Sebagian Sufi mulai secara a priori terhadap gagasan tersebut. Mereka memahami, atau diminta untuk memahami kalimah: “Bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah”, dan kemudian difahami sebagai: “Bahwa tidak ada yang mewujud kecuali Allah”. Mereka mengulangi kalimah tersebut dan kemudian merenunginya. Sebagai akibat dari “meditasi dan refleksi yang berkepanjangan”, demikian Sirhindi, “gagasan tersebut akan mendominasi pemikirannya, dan setelah melewati pengulangan yang sinambung, maka kalimah tersebut akan mengendap dalam imajinasi mereka”. Mereka kemudian akan memiliki pandangan sebagaimana yang diyakininya.
Pendapat terakhir Sirhindi tentang wahdat al-wujud adalah bahwa keyakinan ini tidak diperlukan untuk mencapai fana’. Tauhid syuhudi sudah cukup untuk mengantarkan pada fana’, dan mewujudkan ikhlash yang merupakan tujuan tertinggi dari suluk Sufi. “Untuk fana”, ujar Sirhindi, “kita hanya memerlukan persepsi tentang Zat Tunggal (tauhid syuhudi), sehingga kita dapat melupakan segala sesuatu selain Allah (ma siwa Allah)”. Tentang tauhid wujudi ia berkata: “Sangat mungkin bahwa seorang Sufi menjadikan sayr dan perjalannannya dari satu ujung ke ujung lain tanpa mendapatkan gagasan tentang Kesatuan Zat. Ia mungkin bahkan ragu, bahwa hal tersebut akan terjadi. Bagiku, cara yang mana tidak satupun gagasan tersebut terjadi merupakan jalan terpendek dibanding dengan jalan yang bagaimana mereka mewujud. Lebih jauh lagi, pera pejalan dilintasan pertama biasanya akan mencapai sasarannya, sedang pejalan di lintasan kedua lebih sering tersesat. Mereka hanya terpuaskan oleh beberapa tetes, tetapi kemudian justru meninggalkan sungai, mereka mengejar persatuan dengan bayangan dan kemudian meninggalkan kenyataan. Aku mempelajari kebenaran ini justru dari pengalaman sendiri.
 Pendapat selanjutnya datang dari pendapat para ulama mengenai hal ini, bahwa wujud itu satu, yaitu Allah, hal ini mengandung dua pengertian: yang pertama benar, dan yang kedua kufur: [29]
Yang mereka maksud dengan wahdatul wujud adalah kesatuan al-Haq dengan  makhluk; bahwa tidak ada sesuatu dalam wujud selain al-Haq; bahwa segala sesuatu adalah Dia, dan Dian adalah segala sesuatu; bahwa Dia adalah benda-benda itu sendiri; dan bahwa dalam setiap sesuatu Dia mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan bahwa itu adalah Dia. Ini adalah kekafiran dan kezindikan yang lebih sesat dari kebatilan orang-orang Yahudi,orang-orang Nasrani dan orang-orang yang menyembah berhala. Kaum sufi menentang keras orang yang mengatakan pendapat ini, mengeluarkan fatwa tentang kekafirannya, dan memperingatkan masyarakat supaya tidak bergaul dengannya. Abu Bakar Muhammad Banani berkata, “wahai saudaraku, hindarilah bergaul dengan orang yang berkata, ‘tidak ada sesuatu kecuali Allah,’ lalu Dia memperturutkan hawa nafsunya. Ini sungguh merupakan kezindikan yang murni. Sebab, jika seorang ahli makrifat yang hakiki berpegang teguh pada syariat dan melangkah dengan kaki yang kokoh dalam hakikat, lalu dia berkata, “Tidak ada sesuatu kecuali Allah,” maka maksudnya bukanlah menanggalkan syariat dan meremehkan taklif. Kita berlindung kepada Allah jika ini  yang dimaksudnya. [30]








BAB III
PENUTUP

1.      Simpulan
Wahdat al-Wujud merupakan ajaran pokok Ibnu ‘Arabi yang menyatakan bahwa antara Tuhan dan mahluk adalah satu kesatuan wujud. Konsep utama ajaran Ibnu ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada wujud tunggal saja dan tidak ada yang mewujud bersama-Nya. Wahdat al-Wujud adalah suatu paham yang meyakini bahwa antara Tuhan dan mahluk adalah satu kesatuan wujud. Istilah wahdat al-wujud yang digunakan untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi yang berarti kesatuan wujud, dimana Istilah Arab untuk mewujud adalah Wujud yang dapat dipahami dengan keberadaan (existensi), pembedaan yang banyak dilakukan dewasa ini, antara mewujud dan mengada (being and existence, Wujud dan mewujud (keberadaan) yang belum dilakukan oleh Ibnu Arabi. Namun dalam berbagai karyanya Ibnu al-Arabi  lebih konsisten memakai istilah tajalli, menyingkap diri (self-uncovering) atau perwujudan diri (selfrevelation), yang menjelaskan hubungan antara Tuhan dan dunia Ibnu ‘Arabi sendiri sebagai pembeda untuk menjelaskan paham wahdatul al-wujud dengan yang paham-paham lainya.
Untuk mendudukan keberadaan konsep ini ditengah paham-paham lain terutama dengan paham pantiesme, maka kita perlu melihat defenisi inti dari defenisi keduanya, Baik menurut Henry. C. Theissen, Norman L. Geisler maupun William D. Watkins Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek, modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Esensi Tuhan dan alam adalah satu yang pada hakikatnya hanyalah satu realitas. Sedangkan pengertian wahdatul al-wujud adalah adalah kesatuan wujud, dimana dalam memahaminya kita harus membedakan antara wujud dan mewujud. Esensi dan existensi. Esensi adalah hakikat yang ada yang tidak berhajat kepada sesuatu yang lain, sedangkan alam hanyalah sebagai cerminannya atau ilusi dari asma dan sifatnya. Tuhan tidak akan disebut Tuhan jika Dia berada dalam sendirNya, Tuhan akan menjadi Tuhan jika Dia mempunyai Mahluk. Maka untuk menjadi Tuhan, Ia menciptakan Mahluk sebagai cerminan atas diri  dengan asma dan sifat-Nya.
Dari sisi maratib al-wujud setiap maujud menpunyai tingkatan masing-masing, tingkatan erat kaitannya dengan Allah swt. Tingkatan tertinggi dari maratib al-wujud disebut dengan a’yan al-Tsabitah tingkatan ini disebut dengan entitas-entitas tetap karena keberadaannya masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan. Ini terjadi manakala Zat mengada pada diri sendiri dari diri sendiri, (yaitu pada) gagasan-gagasan tentang segala sesuatu yang muncul di dunia di masa depan. Prototip ideal dari sesuatu ini disebut a’yan tsabitah; yang secara abadi tunduk dalam pengetahuan dari Zat.
















Daftar Pustaka

Nata , Abuddin. Akhlak tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cet. 13, hlm. 215
Rusli, Ris’an, Tasawuf dan Tarekat, Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 138-139
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani.Sufi Dari Zaman ke Zaman, Terj, Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), cet.I, hlm. 202
Muhammad Abd.Haq Ansari, Antara sufisme dan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 149
Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi, 2005). Hlm. 389.
Siregar, Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), cet. II, hlm. 184
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005 ), cet. I, hlm. 139




[1] Abuddin Nata, Akhlak tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cet. 13, hlm. 215
[2] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 138-139
[3] Ibid, hlm. 139. Dikutip Ris’an Rusli pada Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat al-Makiyyah, II, (Beirut: Dar Shadar, tt.), hlm 604
[4] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Sufi Dari Zaman ke Zaman, Terj, Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), cet. I, hlm. 202
[5]Muhammad Abd.Haq Ansari, Antara sufisme dan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 149
[6] Ibid, hlm. 139. Dikutip Ris’an Rusli pada Muhammad Mahdi al-Istanbuli, Ibn Taimiyah Bathal al-Islah al-Diniy, (Damaskus: Dar al-Ma’rifah, 1397 H/1977 M), hlm. 59
[7] Ibid, hlm. 138
[8] Ris’an Rusli, op. cit., hlm. 142
[9] Ibid., hlm. 143 dikutip pada Ibn ‘Arabi, Al-Hikam wa al-Ta’liqat ‘alaih, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 70
[10] Ibid., hlm. 70.
[11] Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi, 2005). Hlm. 389.
[12] Ibid, Abuddin Nata, Akhlak tasawuf dan Karakter Mulia,,, hlm. 216
[13] Ibid, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Sufi Dari Zaman Ke Zaman. 203
[14] Ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta.
[15] Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), cet. II, hlm. 184
[16] Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 162.
[17] Ibid. hlm. 168.                                                                      
[18] Sesuatu yang memancar (mengalir), pancaran-Nya
[19] Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara sufisme dan Syariah, op., cit. hlm 151-152
[20] KBBI Ofline !.51. hierarki diartikan urutan tingkatan atau jenjang jabatan (pangkat kedudukan) atau organisasi dengan tingkat wewenang dari  yang paling bawah sampai yang paling atas.
[21] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005 ), cet. I, hlm. 139
[22] Muhammad Abd. Haq Ansari. Op., cit. hlm. 150
[23] Rivay Siregar. Op., cit.  Hlm. 166.
[24] Antara sufisme dan syariah. Op., cit.  Hlm.151
[25] Muhammad Abd. Haq Ansari, Op., Cit. Hlm. 151
[26] Rivay Siregar. Op., Cit.  Hlm. 198-199
[27] Ris’an Rusli. Op., Cit.  Hlm. 145      
[29] Syeikh Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuh, Op., Cit. Hlm. 390
[30]Ibid. Hlm. 390

[1]Muhammad Abd.Haq Ansari, Antara sufisme dan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm 150
[2]Ibid, hlm 151-152