Kamis, 20 Oktober 2016

Etika Terapan



ETIKA TERAPAN
(applied ethics)


Juprizal
Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Uin sultan Syarif Kasim Riau

Abstrak
Position applied ethics is very significant to solve the ethical problems in society objectively the approaches and methods menjadikanya as systematic science in dealing with problems-problems of concrete and actual. Applied ethics overseeing the various ethical problems that occur in the community, including the effects caused by science and technology and how should we become wise to these development.


A.           Pendahuluan
Etika terapan membahas perilaku dan kewajiban manusia terhadap lingkungan hidupnya berkaitan dengan permasalahan etis yang konkret dan factual yang bertujuan membahas perbuatan-perbuatan manusia dan mengarahkannya kepada sikap yang menjunjung tinggi moralitas terhadap manusia lain ataupun lingkungan hidupnya.
Dengan memahami etika terapan masyarakat diharapkan dapat memahami persoalan-persoalan yang terjadi kehidupan untuk menentukan bagaimana mereka seharusnya menanggapi suatu permasalahan etis, menggunakan penalaran yang benar berdasarkan motode-motode dan pendekatan berdasarkan logika yang benar untuk menghasilkan argumen yang logis dalam menentukan sikap dalam sebuah permasalahan etis yang selalu mengalami perkembangan sesuai dengan zaman. Beberapa foktor yang mempengaruhi pentingya etika terapan di era modern adalah dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang secara tidak langsung merubah pola prilaku dan berimplikasinya terhadap etika dalam masyarakat.
 Dalam perkembanganya etika terapan kelompok khusus dalam masyarakat melalui kesatuan-kesatuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh kolompok sebagai suatu masyarakat etika (moral community) untuk menciptakan keteratuan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelaku etika.

B.            Etika Terapan
Etika terapan dapat dipahami sebagai etika yang dilaksanakan sehari-hari oleh pelaku etika. Etika terapan menerapkan pelaku etika sehari-hari dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat dan bernegara. Hubungannya dengan pelaku etika sangat erat, karena perbuatan etika itu melekat pada pelaku etika. Maka etika terapan ialah etika yang dilaksanakan setiap waktu dalam kegiatan sehari hari dimana saja berada dan sifatnya disengaja.[1]

C.            Garapan Etika Terapan
Etika membicarakan perbuatan manusia tentang apa yang baik dan buruk atau hak dan kewajiban manusia terhadap berbagai persoalan yang terjadi, untuk menciptakan kejernihan dalam pokok pembahasan etika terapan tersebut, maka etika terapan  dapat di klasifikasikan dalam dua wilayah garapan ilmu tersebut, yaitu.
Pertama, etika terapan menyoriti masalah-masalah profesi, bahagian ini membahas profesi sebagai propesionalitas atau integritas[2] yaitu etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, etika polisi dan lain-lain. Kedua, etika terapan yang membahas tentang masalah-masalah kehidupan, seperti penggunaan tenaga nuklir, penggunaan atau pembuatan senjata dan alat-alat canggih, pencemaran lingkungan hidup, diskriminasi dalam berbagai bentuk (ras, agama, jenis kelamin dan lain-lain)[3].
Di zaman modern sekarang ini etika terapan yang lebih banyak berkembang adalah menyangkut masalah profesi, misalnya etika kodokteran yang semangkin berkembang dalam nama-nama baru seperti etika biomedis dan lain-lain. Perkembangan dari beberapa permasalahan diatas juga memicu perhatian atas masalah-masalah etis atau yang berhubungan dengan etika yang perlu segara ditngani dan dicarikan penyelesaiannya.
Garapan etika terapan dapat juga dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut[4], yaitu.
1.             Makro etika, yaitu membahas etika sehari-hari pada skala besar. Artinya masalah-masalah ini menyangkut masalah suatu bangsa seluruhnya atau seluruh umat manusia. menyangkut ekonomi dan keadilan. Misalnya Lingkungan hidup dan alokasi sarana pelayanan kesehatan.
2.             Makro etika, yaitu membicarakan masalah-masalah individuterhadap profesi masin –masing. seperti kewajiban dokter terhadap pasiennya, kewajiban pengacara terhadap kliennya, kewajiban guru terhadap muridnya.
3.             Meso etika, yaitu membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan suatu kelompok, kelompok tersebut dibicarakan dalam skala besar atau kecil dan bukan perorangan, seperti kelompok karyawan, wartawan, kelompok guru, kelompok buruh dan lain-lain.
Klasifkasi garapan etika terapan dibagi lagi menjadi beberapa bagian. Walaupun relevansi, hubungan atau kaitannya sering diragukan. Klasifikasinya etika garapan tersebut adalah[5].
1.             Etika terapan sebagai pelaku individual. Etika ini membahas kewajiban manusia terhadap individual atau dirinya sendiri.
2.             etika terapan sebagai kelompok etika social. Etika terapan semacam ini membahas kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat.


Untuk memahami etika tarapan secara umum maka terdapat beberapa karakter penting yang perlu dipahami agar suatu masalah dapat menjadi topik dalam etika terapan. Pertama, masalah harus bersifat kontroversial dalam pengertian terhadap berbagai kelompok yang besar, baik yang mendukung ataupun menolak issu yang dibahas. Diantara beberapa persoalan merupakan issue kebijakan sosial yang bertujuan untuk membantu masyarakat tertentu berjalan efisien dengan berlakunya konversi tertentu, seperti peraturan lalu lintas, hokum perpajakan, Sebaliknya, issu moral lebih mengenal praktik kewajiban moral, seperti kewajiban kita untuk menghindari kecurangan, dan tidak terbatas pada masyarakat individual. Terkadang, Sering kali, issue kebijakan sosial dan moralitas saling tumpang tindih. Pembunuhan, misalnya, merupakan hal yang secara sosial dilarang, namun juga menentang moralitas. Namun, kedua kelompok tersebut tetap merupakan sesuatu yang berbeda. Misalnya, banyak orang menyatakan bahwa perzinahan sesuatu yang bertentangan dengan moralitas, tetapi tidak berarti bahwa seluruh Negara memiliki kebijakan sosial atau hukum yang secara langsung menghukum pezina tersebut. Sama dengan itu, terdapat berbagai kebijakan sosial yang melarang berjualan asongan di daerah pemukiman tertentu. Namun, selama tidak ada orang lain yang dirugikan, tidak terdapat sesuatu yang bertentangan dengan moral dalam hal penjualan asongan dalam pemukinan tersebut. Dengan demikian, untuk dapat dikualifikasi sebagai issue etika terapan, maka issue tersebut harus lebih dari semata – mata kebijakan sosial, namun harus relevan dengan moralitas itu sendiri[6].

D.           Etika terapan dan pendekatan multidisipliner
Etika terapan memiliki keterbatasan untuk menelaah berbagai macam gejala yang terjadi di sekitar kita, oleh karena itu etika terapan memelukan pendekatan multidisipliner, pendekatan ini adalah usaha pembahasan tema yang sama oleh berbagai macam ilmu. Kerja sama yang erat antara etika terapan dengan ilmu-ilmu yang lain akan melahirkan suatu pandangan yang terpadu, disini ilmu-ilmu lain memberikan kontribusi dari sudut pandang yang terbatas pada ilmu tersebut, maka jika dikumpulkan akan melebur menjadi sesuatu pandangan yang menyeluruh terhadap tema yang diperbincangkan. Setiap ilmu pengetahuan memberikan penjelasan-penjelasan yang dapat dimengerti oleh para ilmuan dengan tetap memperhatikan sekat-sekat pemisah antara setiap ilmu dengan ilmu yang lain supaya setiap keterangan yang diperoleh tidak melebur dengan perspektif ilmiah lainnya.[7]
Dalam pendekatan multidisipliner tidak dimaksudkan untuk meleburkan setiap ilmu menjadi satu, melainkan hanyalan pendekatan dari beberapa segi berkaitan demha tema yang sama. Misalnya kita membayangkan pembuatan buku tentang etika masyarakat pinggiran kota, dimana disini setiap ahli memberikan konteribusinya dengan sudut pandang masing-masing. seperti didalamnya ada ahli biologi, ekonomi, ahli masalah kependudukan dan ahli etika yang mengisi masing-masing bab yang berkaitan dengan tema yang menjadi perbincangan mereka.
Peranan etika terapan terbatas diantara ilmu-ilmu yang lain, karena beberapa lalasan, pertama, disatu pihak etika terapan di praktekan tanpa mengikutsertakan etikawan professional, selanjutnya para ilmuan yang bersangkutan mencari pemecahan yang sesuai dengan kepuasan mereka dalam menghadapi suatu masalah etis yang dihadapi[8].

E.            Pendekatan kasuitik
Kasuitik adalah pemecahan masalah-masalah konkret di bidang moral yang berkaitan dengan menetapkan prinsip-prinsip etis yang umum. Pendekatan kasuistik menarik kerana dalam penalaran moral tidak sama dengan ilmu matematika yang dapat diperlakukan sama, dimana saja dan kapan saja dan juga tiidak dipengaruhi oleh factor-faktor dari luar. Dalam ilmu empiris khususnya ilmu alam pada prinsipnya juga demikin tetapi tidak seformal ilmu matematika. Penalaran moral menunjukan sifat yang berkaitan dengan dua hal, Pertama, di satu pihak kasuistik mengandaikan secara implisit bahwa relativisme moral tidak bisa dipertahankan seandainya setiap kasus mempunyai kebenaran etik sendiri maka kasuistik tidak diperlukan. Selanjutnya, adanya keyakinan kasuistik muncul karena ada keyakinan bahwa prinsip-prinsip etis bersifat umum dan tidak relative saja pada suatu keadaan konkret . Di lain pihak perinsip-prinsip etis juga tidak bersifat mutlak begitu saja. Sehingga tidak bisa diterapkan tanpa memperhatikan situasi yang konkret. Dengan kata lain sifat-sifat dari suatu masalah etis bisa saja berubah sesuai dengan situasi kusus yang menandai kasusnya. Karena suatu kasus yang sama bisa saja terjadi dalam situasi yang berbeda yang tetntunya juga menimbulkan titik penilaian yang berbeda dalam kasus tersebut, ketidak samaan ini juga harus menjadi perhitungan dalam menentukan penilaian etis terhadap sebuah kasu yang konkret.[9]

F.             Metode Etika Terapan
Metode dalam etika terapan merupakan pendekatan ilmiah yang selalu tidak seragam, atau seolah-olah dalam etika terapan tidak selalu memakai metode yang sama karena dalam ilmu praktis seperti dalam etika terapan tidak ada metode sipa pakai yang bisa langsung dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkecimpunh di bidang ini. Pendekatan metode etika terapan sejalan dengan motode pendekatan etika pada umumnya, jadi metode etika terapan dalam hal ini sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada umumnya, ada empat unsur yang mewarnai setiap pemikiran etis.[10]
1.             Sikap awal
Dalam membentuk suatu pandangan etika sesorang memulai dari garis awal dengan mulai mengambil sikap atas masalah-masalah yang berkaitan dengan etis. Sikap awal ini bisa saja pro, kontra atau bahkan netral. sikap awal ini bisa terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa hal seperti, Agama, kebudayaan, pendidikan, pengalaman, media massa watak seseorang yang cendrung dipertahankan, sikap awal ini akan menjadi problematis jika bertemu dengan pandangan yang berbeda terhadap permasalahan yang sama.[11] Misalnya dalam suatu masyarakat agak tertutup, Terdapat kebiasaan bahwa orang tua memiliki kelelusaan memilihkan calon pendamping bagi anak mudanya yang berlangsung tanpa kesulitan dan pemuda tersebut menerima saja tradisi tersebut. Keadaan ini akan menjadi problematis jika pandangan awal ini bersinggungan dengan pendapat lain bahwa setiap anak muda berhak menentukan teman hidupnya yang biasanya terjadi ketika suatu masyarakat tradisional sudah mulai terbuka dan bergaul dengan masyarakat lain yang dimana kejadian seperti itu sudah dipandang lumrah.
2.             Informasi
Selanjutnya informasi dibutuhkan setelah sikap awal manusia terhada suatu pandangan mulai tergugah. Melalui informasi kita dapat mengetahui keadaan subjektif dari sikap awal yang biasanya masih terdapat pro, konta bahkan netral, biasanya juga masih dipengaruhi oleh emosional atau sekurang-kurangnya masih dikuasai oleh factor subyektif.
Contoh permasalahan ini dapat kita lihat pada saat penggunaan tenaga nuklir untuk pembangkit tenaga listrik, dimana penggunaan energy ini dari sudut ekonomi sangat efisien karena tergolong lebih murah dari pada pembangkit listrik tenaga lain dan Sebuah reaktor nuklir pembangkit tenaga listrik dapat dipergunaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam waktu 20-30 tahun setelah habis masa pakai maka reaktor tesebut tidak dapat dipindahkan atau dibongkar. Jadi, Reaktor tersebut dibiarkan berada di tempat berdirinya dalam waktu lama, bahkan berabad-abad dan diam-diam reaktor tersebut terus melepaskan unsur-unsur radioaktif ke tanah udara dan air yang sangat berdampak terhadap lingkungan hidup. Selanjutnya Reaktor Nuklir dapat juga mengalami kebocoran jika dipengaruhi oleh factor alam seperti Gempa bumi dan Tsunami yang melanda Fukushima, Jepang Pada tahun 2012 lalu.
Melihat dari masalah-masalah diatas, maka informasi sangat dibutuhkan dalam etika terapan untuk memecahkan suatu persoalan. Informasi dalam suatu permasalahan dapat diperoleh dari seorang ahli yang tentunya berwawasan luas. Dalam memecahkan suatu permasalahan sangat penting untuk menggunakan pendekatan multidisipliner karena seorang ahli masih terbatas pada spesialisasi yang sempit.
3.             Norma-norma Moral
Selanjutnya adalah norma-norma moral yang relevan dengan topik yang bersangkutan. Norma tersebut adalah suatu norma yang sudah diterima dalam masyarakat (Tidak diciptakan untuk kesempatan itu) tetapi juga harus diakui relevan dengan topic atau bidang yang bersangkutan. Penerapan norma-norma moral merupakan salah satu unsur penting dalam dalam metode etika terapan. Dalam metode etika terapan ini tidak boleh diberikan kesan seolah-olah suatu norma sudah siap sedia dan tinggal penerapannya saja akan tetapi dalam metode ini suatu norma harus tampak dulu atau harus membuktikan diri sebagai norma, artinya norma itu harus diterima oleh sumua orang berlaku untuk suatu kasus atau bidang tertentu. Penilaian moral seperti ini sering diawali oleh oleh suatu kolompok kecil (dalam sosiologi disebut pressure group) biasa berbentuk suatu partai, LSM, dan lain-lain yang bertujuan memperjuangkan suatu pandangan etis tertentu yang terkadang membutuhkan waktu yang panjang, sebelum pandangan etis mereka diterima secara umum. Permasalahan yang berkaitan dengan pandangan pandangan etis yang berkaitan dengan perbudakan yang telah melembaga dan diterima dalam berbagai kebudayaan, namun dalam modern timbul kesadaran bahwa manusia harus memiliki hak atas pangakuan kesetaraan. Pandangan seperti ini awalnya diperjuangkan oleh kelompok kecil seperti William Wilberforce (1759-1833) dan kawan-kawanya yang memperjuangkan penghapusan budaya perbudakan dalam koloni-koloni ingris, awalnya pandangan tentang persamaan derajat mengalami banyak hambatan karena terdapat konsekuensi-konsekuensi dalam masyarakat pada saat itu khususnya ekonomis maka oleh karena itu sering ditentang. Lama-kelamaan kelompok kecil ini akan mendapatkan dukungan dari masyarakat luas sehingga pandangan etika mereka diterima secara umum. [12]
4.             Logika
Uraian dalan etika terapan harus bersifat logis, Logika dapat memperlihatkan bagaimana argumentasi tentang masalah moral dan kaitannya dengan kesimpulan etis dan premis-premisnya dan apakah kesimpulan yang ditarik juga dapat tahan uji. Dengan kata lain, dengan logika logika dapat menunjukan kesalahan penalaran dan inkosistensi yang terjadi dalam argumentasi. Logika juga memungkinkan kita untuk menilai definisi dan klasifikasi yang dipakai dalam argumentasi. Disini dapat di tekankan pentingya definisi yang tepat tentang konsep yang dibicarakan dalam etika terapan karena definisi yang berdasarkan logika dapat dapat menjadi suatu titik tolak dalam suatu titik tolak dalam diskusi.
Sikap awal, informasi, logika dan norma-norma etis merupakan empat unsur penting dalam membentuk etika terapan. Maka hasil diskusi dari etika terapan merupakan hasil interaksi dari ke-empat unsur tersebut, dengan demikian dapat diangkat suatu pertimbangan dan keputusan moral ke suatu taraf yang objektif dan rasional, susuai dengan tujuan etika terapan yaitu menghasilkan suatu pandangan yang objektif dan diterima oleh semua yang berkepentingan[13].

G.           Kode Etik Profesi
Kode etik profesi merupakan etika yang diusahakan untuk mengatur tingka laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui kesatuan-kesatuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh kolompok itu. Profesi adalah suatu masyarakat etika (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. suatu kelompok profesi memiliki memiliki kekuasaan tersendiri dan tanggung jawab khusus karena memiliki keahlian dalam bidang tertuntu yang tertutup bagi pihak lain, maka segala bentuk monopoli bisa saja terjadi, disini etika terapan menjamin setiap kepentingan berjalan dengan baik sebagaimana kode etik sebagai produk etika terapan dari hasil pemkiran etis dalam wilayah profesi. Kode teik tidak mengantikan pemikiran etis tetapi selalu didampingi oleh refleksi etis tersebut dalam perkembangannya.[14]
Salah satu syarat etika terapan dapat berjalan dengan baik adalah kode etik etika terapan harus dibuat oleh ahli dibidangnya. Kode etik profesi harus merupakan hasil dari pengaturan diri (self regulation) dari etika profesi. Dengan membuat kode etik profesi maka hitam putih dari niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai etika yang hakiki. Kode etik berisikan nilai-nilai yang diterima oleh profesionalitas dapat mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan supaya dilaksanakan secara konsekuen. Selanjutnya kode etik profesi dapat berjalan harus ada pengawasan karena kode etik mengandung saksi-sanksi bagi yang melanggarnya. Maka untuk menjamin jalannya saksi atas pelanggaran tersebut maka terdapat “dewan kehormatan” yang dibentuk khusus itu. Ketentuan ini merupakan korelasi dari self regulation yang terwujud dalam kode etik untuk mengontrol individu yang melanggar.[15] Keharusan untuk setiap individu yang memiliki profesi yang sama harus meletakan etika diatas hubungan antara rekan-rekan se-profesi
Dalam dunia kodekteran, sering kali hubungan dengan dokter dan perusahaan farmasi memiliki keterkaitan yang erat, terkadang suatu perusahaan membutuhkan dokter-dokter untuk mempromosikan penduduknya atau memasukan kedalam menu obat-obatan dalam yang ditulis dalam resep dokter. Dari hubungan tersebut seorang dokter akan mendapatkan bonus-bonus atas jasanya. Apakah hubungan ini bersifat etis hal tersebut perlu kita raguka. Seharusnya seorang dokter melayani pasiennya sesui dengan kebutuhannya, tidak seharusnya seorang dokter mencantunkan merek obatan tertentu atau memaksakan produk tertentu yang menguntungkannya. Karena seorang pasien  tidak memiliki pengetahun yang mempuni tentang obat-obatan yang diresepkan untuknya. Maka untuk menjamin berjalannya kegiatan dalam dunia kegiatan maka dibentuklah kode etik kedokteran untuk memberikan perlindungan dan rasa aman untuk dokter dan pelayanannya terhadap masyarakat.

H.           Etika di Depan Ilmu dan Teknologi.
Perkembangan etis tidak terlepas dari peran penting ilmu dan teknologi, dengan perkembangan ilmu alam kita memungkinkan kita menguasai dan mengelola sumber daya alam secara optimal. Dari sekian banyak permasalahan etis yang terdapat dalam kehdupan juga tidek terlepas dari perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan kedua bidang ini menyajikan banyak persoalan dalam kehidupan manusia yang tidak terduga sebelumnya.
1.             Ambivalensi kemajuan ilmiah
Ambivalensi dapat kita mengerti sebagai sesutu yang bercabang dua yang saling bertentangan, disamping ada efek positifnya ada juga efek negatifnya. Tidak bisa disangkal ilmu pengetahuan dan teknologi manusia memperoleh banyak kemudahan.[16]
Francis Bacon (1561-1623 M) menekankan knowledge is power. Kemudian Descartes (1596-1650 M) memandang bahwa perkembangan metode ilmu baru yang sedang bertumbuh dan pada akhirnya sampai pada keyakinan bahwa ambivelensi kemajuan umat manusia bisa menjadi maĆ®tres et posseseurs de la nature “pengasa dan pemilik alam”. Pada mulanya Descartes mengatakan, mula-mula perkembangan ilmu dan teknologi itu dinilai sebagai kemajuan belaka. pertama bagi seseorang hanya melihat kemungkinan-kemungkinan, baru terbuka luas jika dia melihat alam secara keseluruhan.[17]
Aguste Comte (1798-1857 M) memandang bahwa zaman ilmiah disebut zaman pisitif sebagai puncak dan titik akhir seluruh sejarah. Ambivalensi seluruh proses teknologi ada segi negatifnya dan positifnya. Disamping kemajuan yang laur biasa ada juga kesulitan baru yang ditimbulkan. Aspek-aspek negative yang melekat pada ilmu dan teknologi begitu jelas dan menyakinkan, seperti pada saat bom atom dijatuhkan dikota horosima pada tanggal 6 agustus 1945. tiga hari kemudian, mulai timbul kesadaran terhadap dampak dari kemampuan manusia menguasai fisika nuklir.[18]
2.             Masalah Bebas Nilai
Ilmu dan moral merupakan dua kawasan yang tida asing satu sama lain, walaupun begitu tetap ada titik temunya, dimana pada saat-saat tertentu ilmu dan teknologi bertemu dengan moral. Dengan itu kita sudah bisa menjawab apa hubungan etika dan moral yang biasanya tergambar dalam bentuk, “Apakah ilmu bebas nilai?, Maka umum kita jawab bahwa ilmu tidak asing terhadap nilai atau ilmu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan memang memiliki otonomi sendiri yang tidak boleh dicampuri oleh hal lain selain ilmu tersebut seperti agama, nilai-nilai moral dan lain lain. Seperti pada contoh kasus Galielo Galilei pada abad ke-17, tahun 1633 M gereja Katolik Memaksa ilmuan Italia itu menarik teorinya bahwa bumi mengelilingi matahari dan tidak sebaliknya karena hal tersebut dinilai bertentangan dengan kitab suci Agama Kristen. Dalam hal ini bisa dilihat Campur tangan agama dalam ilmu tidak hanya erugikan ilmu itu sendiri bahkan dapat merugikan agama itu sendiri, karena kredibilitasnya bisa berkurang.[19]
Ilmu memiliki otonominya sendiri dalam mengembangkan metode dan prosedurnya yang kini dapat diterima dengan keberatan apapun. Tidak ada instansi apapun yang dapat meyensor suatu penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari kebenaran, akan tetapi ilmu terutama teknologi sebagai penerapan toritis tercantum juga dalam konteks yang lebih luasyang karena alasan itulah ia berjumpa dengan nilai-nilai etika. Ilmu dan Teknologi diawali dengan pertanyaan “Bagaimana” (bagaimana struktur materi, bagaimana cara membuat bahan bakar yang efisisn dan lain-lain). Teori ilmiah dan penerapannya dalam teknik memberi jawaban atas pertannyaan itu. Selain itu ada pertannyaan penting yang harus yang juga harus diperhatikan oleh ilmu dan teknologi yaitu “untuk apa” yang secara kronologis tidk bisa dipisahkan dari pertanyaan pertama. Ketika sorang ilmua amerika ikut serta dalam Manhattan Project, proyek pengembangan bom atom pertama pada tahun 1940,an, ia menanyakan implikasi lebih lanjut dari proyek tersebut, ia menjawab, after all, it’s superb phisics “Bagaimanapu juga, ini adalah fisika yang luar biasa. Maksudnya dia membatasi hanya dari konteks ilmiah saja atau tidak bisa meninggalkan lingkup pertanyaan “Bagaimana”. walaupu demikian apa yang dia kerjakan tidak terlepas dari apa yang terjadi di Hirosima dan Nagasaki beberapa saat kemudian. Selama para ilmuan hanya membatasi pada pertanyaan”Bagaimana” mungkin ia hanya memcari kebenaran murni, tapi secara konkret pertanyaan ini harus di imbangi dengan pertanyaan “untuk apa” Karena perkembangan ilmu dan teknologi tentu mempuyai tujuan dan harapan dan juga terkadang tidak lepas dari kepentingan ekonomi dan politik/militer[20]
3.             Teknologi yang tak terkendali.
Pada saat ini perkembangan ilmu dan teknologi merupakan proses yang seakan-akan berlangsung secara otomatis, tidak tergantung pada keinginan manusia. Keadaan ini cukup mengherankan karena pada dasarnya teknologi dibuat untuk membantu manusia, bersifat instrumental, menyediakan alat-alat bagi manusia, sebagai perpanjangan fungsi tubuh manusia, seperti mobil, motor (kaki), tangan (mesin pemotong rumput, dan alat,alat berat), mata (media massa) telinga (radio, telepon)sanpai dengan otak (komputer). Semua itu memudahkan manusia untuk menguasai dunia. Martin Heidegger (1899-1976) menyatakan bahwa, teknik yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang ini ulai mengasai manusia itu sendiri. Gambaran tentang situasi ilmu dan teknologi seperti ini bagi beberapa orang mungkin dianggap terlalu pesimistis.[21] Tetapi bagi sebagian lagi sekurang-kurangnya terdapat kebenaran didalamnya. seperti pada saat Thomas Grissom memilih untuk berhenti untuk bekerja pada proyek pengembangan senjata nuklir, karena ia menyadari hasil pekerjaannya dapat membahayakan banyak orang.Walaupun ia berhenti dia tau pasti posisinya akan digantikan oleh orang lain dan proyek tersebut pasti akan berjalan terus. Banyak orang berpendapat bahwa perkembangan ilmu dan ternologi terkadang kebal terhadap nilai etis dan memang benar, untuk memperhatikan segi-segi etis bukan tugas ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri melainkan tugas manusia dibaliknya. Jika kemampuan manusia bertambah besar dalam ilmu dan teknologi maka sudah seharusnya juga harus diimbangi dengan juga dengan kebikaksanaan dalam menjalankan kemampuan itu. Pertanyaannya apakah yang dikerjakan ilmu pengetahuan itu harus dikerjakan juga?, Pertanyaan ini harus dijawab oleh manusia yang berperan dalam ilmu dan teknologi itu sendiri. Tidak semua bisa dilakukan dengan teknologi modern, itu artinya manusia harus membatasi diri dalam pemamfaatannya, yaitu batas baik dan buruk atau mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Maka penggunaan teknologi harus berdasarkan kesadaran etis manusia. Akan tetapi secara konkret siapa yang akan mengambil keputusan itu, Maka keputusan itu seharusnya diserahkan kepada teknisi batas-batas moral itu, atau negara atau masyarakat internasional.[22]
4.             Tanda-tanda yang menimbulkan Harapan
Perhatian tentang etika dalam masyarakat bukan sedikit, tetapi perhatian itu biasanya akan terlabat datang, etika sebagai ilmu biasanya akan diikutsrtakan setelah permasalah-persoalan etis muncul. Hal itu terjadi karena perkambangan ilmu dan teknologi selalu memdahului pemikiran etis yang seharusnya dalah pemikiran etis mendahului ilmu dan teknologi tersebut. tetapi cita-cita tersebut kelihatannya masih mustahil bisa diwujudkan. Walaupun demikian harapan yang menyenangkan hati sudah mulai muncul, yaitu dengam mulai terbentuknya komisi-komisi etika yang mengawasi dan mendampingi proyek-proyek penelitian biomedis dan juga pengawasan terhadap rumah sakit atau proyek tersebut dari sudut etis. Agar rumah sakit tersebut dapat memberikan pelayanan secara manusiawi.[23]


I.              Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa etika terapan sebagai ilmu memiliki pendekatan dan metode untuk yang sangat berguna untuk menghasilkan suatu pandangan yang objektif sebagai suatu pengetahuan yang dapat diterima dalam masyarakat dan terlepas dari subyektivitas. Sebagai ilmu terapan etika terapan juga berusaha menyentuh berbagai permasalahan etis yang terjadi dalam kelompok-kelompok khusus dalam masyarakat untuk mempertahankan keberadaan nilai etika ditengah perkembangan kolompok moral tersebut guna menjamin kesesuaian prilaku mereka dalam interaksinya denga masyarakat lain. Hal ini dianggap penting karena suatu kolompok khusus “profesi” membunyai keahlian yang mungkin tertutup bagi individu lain maka dalam penerapannya mereka harus dituntun oleh peraturan yang benar untuk menimalisir kemungkinan penyimpangan yang dapat diperbuatnya sebagai sorang yang memiliki pengetahuan yang lebih dari masyarakat lain.
Pentingnya etika terapan tidak terlepas dari kemajuan ilmu dan teknologi dalam masyarakat modern, kemajuan ini bagaikan pisau bermata dua dalam kehidupan kehidupan masyarakat. disatu sisi ilmu pengetahuan dan teknologi mempermudah manusia dalam mengelola alam ini, sedangkan disisi lain mereka tidak mampu bersikap bijaksana terhadap perkembangan tersebut sehingga menimbulkan dampak yang merugikan bagi kehidupan mereka sendiri. Dari berbagai permasalahan yang bersifat konkret dan factual dalam kehidupan manusia pada zaman modern ini etka terapan selalu berusaha mencari penyelesaian dari berbagai kasus tersebut walaupun terkadang etika terapan sebagai ilmu pengetahuan diterapkan setelah permasalahan itu dirasakan oleh manusia akibat dari ilmu dan teknologi yang mereka kembangkan.





Dartar Pustaka

http://kumpulan-materi.blogspot.co.id/2014/09/etika-terapan.html pada tanggal 29 Sebtember       2016
K. Bertens, Etika, Cet. Kelima. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000)
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006)



                [1] M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 676
                [2] Mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran atau  wujud keutuhan prinsip moral dan etika.
                [3] K. Bertens, Etika, Cet. Kelima. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 270

                [4]ibid,  M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 677
                [5] Ibid, hlm 677
                [6]Dikutip pada laman http://kumpulan-materi.blogspot.co.id/2014/09/etika-terapan.html pada tanggal 29 Sebtember 2016
                [7] ibid, K. Bertens, Etika, hlm, 272-273
                [8]ibid,  M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm 679
                [9] ibid, K. Bertens, Etika, hlm, 275-279
                [10] Ibid, hlm 279
[11] ibid,  M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm 694
[12] ibid, K. Bertens, Etika, hlm, 298-300
[13] ibid, hlm, 302
[14] ibid, hlm 279
[15] ibid, Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika,, hlm 686
[16] ibid, K. Bertens, Etika, hlm, 284
[17] ibid, Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika,hlm 688
[18] ibid. hlm 688-689
[19]ibid, Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika,hlm, 690
[20] ibid, K. Bertens, Etika, hlm, 288
[21] ibid, 290
[22] ibid, Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika,hlm, 692-693
[23] ibid, K. Bertens, Etika, hlm, 292